02 Maret 2013
Entah apa yang
menggerakkan ku untuk melakukannya dan
tidak memilikirkan perasaannya, membayangkan reaksinya ketika tau apa yang
sudah kulakukan. Aku bodoh seperti
keledai, menggali lubang yang sama di area yang berbeda, namun berdiameter lebih lebar... Andai dia tau ini
tidak seperti apa yang ada dibenakknya, aku sangat meyakini hati ini sudah
terkunci rapat, tidak akan ada celah bagi debu dan penyamun. Bertubi-tubi ia
lantunkan nada-nada yang menyayat hati kecil, melukai pembuluh hingga bergetar.
Rasanya engsel terpelanting dan tulang-tulang berserakan di lumpur kelam. Aku tak bergairah untuk apapun bahkan sekedar
duduk di beranda menghirup udara luar.
Dia benar-benar marah besar, aku
kelimpungan entah bagaimana meyakinkannya lagi,,, sampai pada batas persimpangan
ego dan dia, tentu aku memilih dia, tapi entah ego itu menyelinap dari sayap
kiri. Aku berbelok kemasa silam,,, aku yang egois, mau menang sendiri, keras
kepala. Sejak mengenalnya sedikit demi sedikit sudah ku tanggalkan. Bagi ku dia
sumber mata air yang datang di musim kemarau, tapi ia juga bisa menjadi matahari
yang memanggang ku hingga hangus. Ini memang kelalaian ku, karena aku tidak
berpikir panjang, karena aku terlalu mementingkan perasaan orang lain.
Seharusnya perasaan dia diatas segalanya.
Entah dengan cara
apa dia bisa memaafkan ku dan memberikan lagi benih kepercayaannya. Dalam
lipatan putus asa saya memutuskan untuk menyerah, merasa diri tak layak
untuknya. Tapi sungguh dalam hati kecil ini saya ingin terus dapat bersamanya,
SELAMANYA. Dia mengatakan saya pecundang, saya yang merusak tapi tidak ingin
memperbaiki. Itu artinya kita akan berpisah? Atau sudah berpisah?
Tidak lama handphone saya berdering. Suara itu,,, yah suaranya mengalirkan darah ke pembuluh.
Memompa jantungku lebih kencang. Kukumpulkan kembali tulang-tulang yang
berserakan, ku pasang engsel hingga tulang berfungsi normal. Tapi entah apa yang
membuat lidah ini kelu, mengatakan yang tidak seharusnya saya katakan. Saya
ingin sekali bertemu, menjelaskan semua, menatap matanya dengan sungguh bahwa
saya menyesal dan inginkan dia seperti sedia kala. Saya ingin mendekap punggungnya
menenangkan hatinya. Saya teramat menyayanginya. Dan pada akhirnya saya hanya
kembali diam disudut pilu. Mengeram bak ayam betina berkantong gundah.
Detak waktu kian
mengalir. Keinginan untuk bertemu semakin kuat. Tapi terlambat, karena sudah
tidak mungkin untuk keluar.
Mata seakan enggan
mengatup. Hingga kuputuskan menikmati drama korea dan tertawa sesekali menjerit
pilu. Diibaratkan dunia ini adalah sebuah teater, kini kami dalam masa-masa kilmaks.
Penuh emosi dalam perseteruan dari feromon dua hati. Diibaratkan sebuah
bangunan. Kami sudah dirikan pondasi yang kuat, bata yang kokoh. Hingga badai
datang mencoba menghantam dari besegala arah.
Saya ingin semua
baik-baik saja. Tapi hingga jarum jam beradu diubun-ubun semuanya tak
menunjukkan titik terang, semakin rumit dengan luka kian menganga. Kupaksa
memejamkan mata mengganti posisi berguling-guling tak karuan. Kantuk tak
kunjung jua tiba. Pikiran saya melayang-layang. Hingga teringat akan mimpi.
Mimpi menikah denganya. Saya sering menemui mimpi kebalikan dari kenyataan. Dan saya membantah
kali ini. Meyakinkan itu hanya bunga tidur. Itu hanya kamuflase yang sengaja
menggoyahkan saya. Teringat masa-masa yang membuat saya jatuh cinta setiap
detiknya dengan dia dan dia dan dia lagi. Ingat perkataannya yang membuat saya
kehilangan sosoknya hingga perih kian menusuk. Semuanya berbaur. Meracik bumbu
mendominasi pedih.
Akhirnya saya
terlelap. Tapi ingatan saya tak lepas darinya hingga merasuk kedalam mimpi.
Mimpi semua berjalan sedia kala. Melihat
senyumnya ketika kita bersenda gurau. Akhhh... Saya benci mimpi!!!...
Terbangun dan
melihat layar handphone. Ada pesan. Saya bersemangat membuka kotak masuk. Tertera
agen neptunus di sana. Siapa lagi kalau bukan dia. Beberapa detik raut berganti
muram langit kembali gelap, petir menyambar saya bertubi-tubi. Apalagi ini???
Saya sangat berharap ini mimpi!!!!... Tapi saya melihat semuanya begitu nyata.
Dia sedang memaki saya dan menyamai saya seperti perempuan yang saya benci. Menuding
saya berselingkuh dan membohonginya. Miris.
Saya berusaha
menenangkan hatinya, disisi lain emosi saya mulai terpancing.
Bisikan devil mendayu-dayu “Mengapa kau terlihat seperti orang bodoh? Mengemis
pada orang yang sudah memakimu? Untuk apalagi dipertahankan?”…
Disisi lain suara-suara malaikat menggema “Rin,,, dia seperti itu karena
ada penyebabnya. Yang perlu kamu lakukan berusaha untuk tidak mendekati apa-apa
yang membuat ia bertindak seperti itu, bukan mencari-cari kesalahan, tidak akan
ada habisnya. Dia menyayangimu. Camkan itu!! .
Hingga kehabisan kuah aksara. Kering dan kusam. Ingin rasanya segera meletakkan matahari di ufuk timur, membangunkan ayam jantan agar segera berkokok. Saya inginkan pagi dan bertemu dengannya....
Take pic : File lama
"Kepercayaan ibarat sebuah sebuah telur, ketika
telur itu pecah maka tidak akan mungkin utuh kembali”.
“Jangan
bermain api jika tidak ingin terbakar”
“Lebih
baik mencegah dari pada mengobati”
Terimakasih sayang,,, atas pelajaran yang
secara cuma-cuma kamu berikan dengan tulus. Maaf untuk kekecewaan ini.
2 komentar:
Hai cantik?
Assalaamu'alaikum?
disini cuaca mendung, angin berduyun2 mengintai keadaan hehe...
lagi galau yah?
beljar dari semuanya ambil hikmahnya saja hehhe.. eh itu curhatan apa cerpen?
kayaknya asli
Wa'alaikumsalam ...
hehhe.. ayo tebak asli apa palsu???hhihihi
Posting Komentar