Tuhan tau apa yang kita butuhkan , bukan apa yang kita inginkan

.
RSS

Stop Pacaran: Sebuah Perspektif Psikologis

Stop Pacaran: Sebuah Perspektif Psikologis

By: Irwan Nuryana Kurniawan

Kebanyakan anak-anak muda meyakini dan telah menjadikan pacaran sebagai metode utama—bahkan satu-satunya metode—di dalam menemukan calon pasangan untuk berlanjut ke jenjang pernikahan. Mereka menduga bahwa pacaran akan memberikan mereka kesempatan yang baik untuk mengenal dengan lebih baik kebiasaan-kebiasaan dan karakter-karakter satu sama lain sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Mereka meyakini bahwa pengalaman pacaran yang mereka peroleh akan membantu mereka melakukan penyesuaian pernikahan dengan baik dan pada akhirnya kepuasaan pernikahan mereka akan lebih mudah diraih. Mereka berhipotesis ada hubungan sangat kuat antara pacaran dan kepuasan pernikahan.

Jika hipotesis ini benar, mengapa begitu banyak perceraian dan pernikahan yang tidak bahagia di masyarakat kita? Bahkan sebuah laporan penelitian menginformasikan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik untuk tingkat perceraian.

Temuan-temuan riset secara konsisten menunjukkan bahwa pacaran bukan prediktor yang signifikan bagi sebuah pernikahan yang bahagia. Sebagai contoh, National Marriage Project (2000) menyimpulkan bahwa kohabitasi—satu bentuk pacaran dimana mereka hidup bersama sebelum menikah—memiliki pengaruh negative terhadap masa depan pernikahan. Penjelasannya adalah bahwa dasar pernikahan adalah komitmen etik yang kuat—dalam Islam dikenal sebagai mitsqan ghalizhan- غَلِيظًا مِيثَاقًا –-sementara hubungan kohabitasi jatuh dalam komitmen jangka pendek. Pasangan kohabitasi lebih banyak berorientasi pada kebutuhan otonomi diri sendiri dan kemungkinan besar akan mengakhiri hubungan mereka jika hubungan tersebut sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Semakin lama pasangan ini hidup bersama, semakin besar kemungkinan mereka untuk memiliki sikap komitmen yang rendah. Karenanya sangat mudah diprediksikan bahwa sekali komitmen rendah ini terbentuk dan pola hubungan otonomi tinggi diadopsi, menjadi sangat sulit bagi mereka untuk berubah.

Dalam sebuah ulasan kohabitasi yang komprehensif, David Popenoe and Barbara Whitehead (1999) menyimpulkan bahwa kohabitasi merusak pernikahan dan meningkatkan probabilitas terjadinya perceraian. Hidup bersama meningkatkan resiko kekerasan domestik pada wanita dan resiko perlakuan fisik dan seksual menyimpang terhadap anak-anak. Kohabitasi juga berpotensi tinggi merusak anak-anak karena kemungkinan tingginya kemungkinan pasangan tersebut berpisah, sehingga menyulitkan bagi anak-anak untuk membangun hubungan dekat dengan orang dewasa lainnya. Demikian juga, wanita yang hidup bersama dan memiliki anak menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi. Lebih lanjut ditemukan bahwa pasangan-pasangan yang hidup bersama memiliki tingkat kebahagian dan kesejahteraan yang lebih rendah dibandingkan pasangan-pasangan yang menikah.

Dalam bukunya I Kissed Dating Goodbye, Joshua Harris (1997) menjelaskan dengan sangat jelas sejumlah alas an mengapa pacaran tidak mampu memprediksikan kebahagiaan hubungan pasangan:

1. Pasangan mendorong intimasi (kedekatan fisik emosional) tetapi tidak mencukupi untuk terbentuknya komitmen

2. Pacaran cenderung mengabaikan persahabatan padahal persahabatan menyediakan fondasi yang kuat untuk sebuah hubungan yang stabil

3. Pacaran cenderung fokus pada atraksi romantis, sehingga hubungan akan tetap berlangsung sepanjang perasaan romantis tersebut masih ada

4. Pacaran cenderung fokus pada menikmati cinta dan romantisme hanya untuk kesenangan semata

5. Pacaran seringkali menjadikan hubungan fisik sebagai bentuk pembuktian cinta terhadap pasangan

6. Pacaran seringkali mengisolasi pasangan dari hubungan-hubungan penting lainnya, meninggalkan arti penting persahabatan ketika mengalami kondisi buruk dengan pasangan

7. Pacaran banyak menghabiskan waktu dan tenaga di mana hal tersebut dapat mengganggu mereka dari tanggung jawab utama mereka untuk mempersiapkan masa depan

8. Pacaran seringkali menciptakan sebuah lingkungan artificial untuk mengevaluasi karakter pribadi orang lain

Yang lebih menguatkan lagi bahwa pacaran mestinya tidak perlu lagi dijadikan metode dalam mencari pasangan menikah adalah temuan-temuan yang menunjukkan bahwa pasangan-pasangan yang hidup bersama dan kemudian mereka memutuskan untuk menikah menunjukkan karakteristik pernikahan yang sangat kontradiktif dengan pasangan menikah yang sebelumnya mereka tidak hidup bersama. Sebagai contoh, Cohan and Kleinbaum (2000) menemukan bahwa pasangan menikah yang sebelumnya melakukan kohabitasi memiliki keterampilan-keterampilan komunikasi yang lebih buruk dalam mendikusikan permasalahan-permasalahan yang muncul dibandingkan pasangan menikah yang sebelumnya tidak melakukan kohabitasi. Studi-studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa sebuah pernikahan yang didahului kohabitasi kemungkinan besar berakhir dengan perceraian; DeMaris and Roe (1992) menemukan resiko perceraian meningkat sebesar 46%.

Secara singkat, Sydney Harris menyimpulkan bahwa satu alasan utama mengapa banyak pernikahan yang gagal adalah fungsi yang disediakan oleh pacar dan jodoh berbeda secara fundamental—pacar biasanya dipilih karena pacar tersebut secara fisik menarik sementara jodoh dipilih karena jodoh tersebut secara psikologis bertanggung jawab; dan sayangnya, kebanyakan individu-individu yang menarik seringkali tidak cukup bertanggung jawab, sedangkan kebanyakan individu-individu yang bertanggung jawab seringkali secara fisik kurang menarik.

Jadi, bagaimana pendapat Anda sekarang tentang pacaran? Masihkah Anda meyakini bahwa pacaran merupakan metode terbaik untuk menemukan pasangan untuk menjaga kesucian diri dan bersama-sama menyempurnakan separuh agama Anda?

Wallahu'alam bishawab


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Followers