Tuhan tau apa yang kita butuhkan , bukan apa yang kita inginkan

.
RSS

Rain Diamond : Tersesat di negri jarum


27 Februari 2013

Macetnya ibu kota menjalar di sepanjang perjalanan kami. Panas terik mendominasi hawa. Debu-debu lajang berdesakan di kantung mata. Perjalanan masih puluhan kilo lagi. Tapi saya bersyukur semakin kesana hawanya semakin sejuk. Yah,, kami telah beringsut dari ibu kota walaupun kemacetan masih terasa.
Di sebuah jembatan ia berhenti sejenak. 
"Kamu liat itu.." Ia menunjuk pemandangan di atas jembatan. Pepohonan rindang, aliran sungai dan nun jauh di sana atap-atap rumah menjamur.
"Kamu tau, setiap melewati jalan ini aku sering mampir dulu di sini, apalagi sore sunsetnya bagus" 
Saya langsung tertegun. Melempar senyum lebar ke rerindangan hijau.
"Andai bisa menikmati seperti ini lebih lama.." Kataku.
Ia hanya tersenyum. Senyum si pemikir. Senyum yang menyimpan sejuta cara agar keinginanku terwujud tak terpikirkan olehku.
Selang beberapa menit kami melanjutkan perjalanan.

Tepat setengah sebelas kami sampai. Hari ini adalah hari yang spesial untuk dua orang yang sangat saya sayangi. Icin (sahabat saya) dan da Otri (sepupu saya). Hari ini mereka wisuda. Lepas dari parkiran kami menuju gedung yang dimaksud. Saya akan menemui keluarga icin yang menunggu di luar gedung. Karena memang hanya dua orang saja yang boleh masuk. Sepanjang jalan berserakan penjaja kembang.  
Siang terik membuat tenggorokan kami meradang. Saling memandang tersenyum sambil melirik gerobak es duren.
"Mau?"
Saya hanya mengangguk sambil nyengir. Dengan hitungan  detik es duren sudah ditangan kami.
"Kamu udah sms Otri, jam berapa keluarnya?"
"Katanya sebentar lagi sih"
Tanpa kami sadari beberapa orang memandangi kami. Mungkin terlihat seperti dua bocah rakus tengah lahap makan es cream.
Ubit (panggilan sayang untuknya) pernah bilang "Jika kita merasa nyaman kenapa gak? apapun yang dikatakan orang biarkan saja".

Kami beringsut dari tukang es duren dan kembali mencari saudara icin, tak kunjung bertemu saya memutuskan beli kembang dulu. Berbagai warna dan variasi di jajakan, mawar merah, putih, kuning, biru, pink dan banyak lagi.  
"Pilih yang mana nih?" Saya tidak paham makna-makna disetiap warna mawar.
"Putih aja" Katanya kemudian.
Akhirnya saya mengambil dua tangkai mawar putih.

Kami kembali mencari saudara icin dan akhrinya bertemu di dekat tangga.
Satu jam berlalu belum juga ada tanda-tanda acara wisuda akan berakhir. Orang-orang lalu lalang menghilangkan kejemuan. Saya duduk dan memperhatikan sekeliling. Beberapa orang antusias menjajakan kembang, pernak-pernik dan asesoris. Bermacam manusia saya temui. Mereka perpenampilan serapi mungkin, sebagus mungkin.  Ada wanita berdandan cukup mencolok dengan baju dan rok mini serba kuning menyala hingga stiletonya juga berwarna kuning mengenakan kacamata hitam. Polesan lipstik dan alas bedak 5 senti. Di kira ini papan catwalk kali yah? Atau konser dangdut keliling? Entah,,,

Saya memperhatikan mudi-mudi berkerudung ala hijabers. Modelnya, perpaduan warna saya coba teliti. Dan angan-angan itu mengenduskan aroma harapan. Teringat kata-katanya. Sewaktu saya bercerita ingin punya butik suatu saat nanti.
“Makanya kamu belajar gambar, ngedesain sendiri. Inti dari desain itu mengenali karakter orang. Termasuk kedalam manakah? melankolik, kolerik, plegmatik atau sanguine, supaya yang kita kerjakan dapat diterima dan diakui. Sama kaya aku, sebelum ngedesain aku ngobrol-ngobrol dulu sama klien, orang yang seperti apa dia agar kita tau apa keinginannya agar hasil yang kita kerjakan memuaskan”.
Ingin rasanya merekam setiap pita suara yang ia dendangkan. Lagi dan lagi jatuh cinta padanya.
Sesekali saya melirik ke arahnya. Ia sedang asik mengobrol dengan abang icin. Benar-benar bangga dengannya. Mudah bergaul dengan siapa saja. Tanpa pandang buluh.
Lagi dan lagi jatuh cinta padanya.

Dan pada akhirnya penantian berakhir. Kami beringsut menuju kerumunan orang-orang yang juga tidak sabar menyambut para wisudawan. Beberapa mahasiswa meramaikan acara dengan membawa alat musik, spanduk dan bernyanyi (entah nyari atau teriak..hehe).

Menit-menit berlalu kami belum menemukan keberadaan icin maupun daotri. Berkeliling bak anak kehilangan induk. Sampe pada akhirnya kami menemukan juga orang termanis di dunia. Icin Trisnawati. Bersalaman dan berfoto-foto. Saya teringat satu hal. Silver!!!! Si kamera. Ia saya ingat tadi saat di perjalanan. Tapi tidak mungkin mutar balik. Terlalu jauh dan jalanan cukup padat.    

Da Otri muncul kemudian. Spontan saya ingin sekali memeluknya. Opss... Dia sudah seperti kakak kandung dan sahabat tempat berbagi cerita. Langsung kami berfoto-foto. Pandangan saya kemudian tertuju pada seorang perempuan bertubuh mungil berkacamata dan terlihat anggun dengan balutan rok panjang serta jilbab prasmina. Tanpa saya sadari dia memperhatikan gerak gerik saya. Namanya Rina. Gadis yang dipacari da Otri dua tahun belakangan ini. Apa dia melihat reaksi saya tadi yah,,, dia terlihat sinis, jadi teringat kata-kata da Otri “Ri,, Rina masa cemburu sama Ri..”.
Hadeh.
Lalu saya dekati dia dan menyalami.
Keluarga da Otri yang lainpun terlihat. Mama, papa dan kedua adiknya.
“Akhirnya da Otri lulus juga ya tek ... “
“Kan karena ngeliat adiknya,,, masa adiknya udah kakaknya belum-belum juga...”
Lalu tawa kami membuncah.  
Dan,,, yang tak disangka-sangka. Mama da Otri mengenalkan saya dengan perempuan paruh baya bertubuh mungil. Saya tidak mengenalinya.
Ingek dari Ri...”
Saya mencoba mengingat, tapi memori saya tidak menyisakan sketsa dia.
Tek Ida,,, adiak papa,,,”
Oh... ya, mama pernah cerita papa punya adik tiri bernama Ida. Tapi sudah lama sekali tidak pernah bertemu. Mungkin terakhir saya masih kecil.
Tek Ida langsung memeluk dengan mata berlinang.
Nde,,, nak, lah gadang anak dak tacoliak dek etek do...”
Saya membalas pelukannya. Mengelus punggungnya dengan perasaan haru. Dalam hati saya kembali bersyukur, Tuhan berikan melebihi apa yang saya bayangkan. Walaupun terkesan terlambat, tapi kesempatan itu tidak mengenal kata terlambat. Ia datang memang sudah pada waktu yang tepat.

Opss... Saya melupakan sesuatu. Mata saya mengerlik mencari sosoknya.  Dari jarak hitungan  meter ia tengah asik menjadi fotografer dadakan. Sepertinya ia menikmati. Hehe...
Keluarga icinpun sudah berkumpul. Mama papa icin. Mereka sudah seperti orang tua saya sendiri, terlebih papa. Kami berfoto-foto lagi.

Lalu saya berbalik kekeluarga da Otri, mengajak Ubit berkenalan dengan yang lain.
Tek,,, kenalkan… temen Ri..
“Oh… dimaa nak tingga….”
Dengan nada yakin Ubit langsung menjawab
“Baik bu.. baik…”
Saya tak mampu menahan tawa. Hahaha… ditanya apa dijawab apa.
Tek,, nyo dak urang awak do, dak bias bahaso Padang,,,” Urai saya kemudian.

Dan terjadilah obrolan singkat antara mereka.

Saya kembali menemui keluarga Icin. Mereka mengajak kami untuk makan siang. Seperti keluarga yang sedang piknik. Makan di halaman beralas tikar. Angin berhembus kencang, sepertinya hujan akan turun. Bahagianya saya. Mungkin karena ini momen yang jarang terjadi, apalagi ada dia yang menemani saya. Ubit memilih duduk  di rerumputan. Itulah dia. Dimanapun jadi.
“Kamu nggak makan?”
“Nggak, aku masi kenyang…”
Dan dia lebih memilih menikmati hisapan nikotinnya.
 “Minggu dateng ya say ke pesta da Dek, ajak bang Mail”. Kata Icin
“Hehe,, ia sayang Insya Allah…”
 Setelah makan saya pamit, keluarga da Otri sudah menunggu.

Lalu kami berjalan menuruni anak tangga menuju pelantaran beratap pepohonan besar.
Omak… Lagi-lagi kami ditawari makan.
“Aku udah nggak kuat yank…”
“Makanya tadi aku nggak makan, udah feeling bakal ditawarin makan sama Otri”.
Aku menatapnya. Pria ini,,,, , mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Ia membuat saya jatuh cinta pada setiap inci sel-sel kepalanya. Cara berpikir yang tak biasa yang tak bisa saya tebak dan tak pernah saya duga.

Lalu saya berpindah duduk di samping da Otri. Sudah lama sekali kami tidak berbincang-bincang. Menertawai kebodohan masing-masing. Lagi-lagi dua bola mata itu menyoroti saya.
Ingin rasanya menjawab kekhawatirannya.
Tenang saja teh, dia itu abang saya, kedekatan kami sebatas adik dan abang. Kamu tidak lihat saya datang bersama siapa? Hati saya hanya untuk pria ini. Pria bermata indah.  Jadi jangan lagi merasa seolah saya akan merebut kekasihmu.

Suara gemuruh mulai terdengar. Kamipun mohon pamit.
“Mau langsung pulang? Arah Jakarta kayanya udah hujan..”
“Yaudah kita pulang..”
Rasanya masih ingin menatap rerindangan hijau, batang pohon yang berdiri kokoh dibalut aroma tanah lembab.
Jalanan ini tak pernah lengang sepertinya.
“Macet, kita putar balik yah..”
“Terus mau lewat mana?”
“Katanya mau liat pemandangan…”
“Hehehe.. Ia si… terus mau kemana?”
Ia hanya memutar sembari tersenyum.
Entah apa yang sedang ia pikirkan... 
Dari jalan Dermaga kami berbelok ke kiri. Memasuki daerah perkampungan. Kiri kanan hijau sesekali rumah.
“Punya rumah di sini enak kali yah, ntar biar mama sama babe tinggal di sini”.
“Bikin kaya villa gitu ya,,,”.
Angin sepoy melayangkan angan-angan kami. Tentang sebuah rumah yang asri dan keluarga yang bahagia. Saya semakin menikmati perjalanan.

Tak lama armada neptunus mendarat ke bumi. Membasahi dedaunan, menyentuh sari-sari  bunga. Saya sengaja buka kaca helm, dan membiarkan bulirnya menerpa wajah. Saya liat di spion, ia juga melakukan hal yang sama.
“Seger yah,,,” Sahutnya ketika saya kepergok tengah mengamatinya.
“Ia,,,”.
 Hal-hal sederhana saja membuat saya bahagia. Menikmati alam mengajari kami untuk selalu bersyukur dengan ciptaanNya yang luar biasa. Mungkin bagi sebagian orang ini hal yang biasa saja. Tidak bagi kami.
“Ngomong-ngomong kita mau kemana...?”


Bersambung....



Take picture : File lama

Aku seperti rerumputan kering. Dan kamu adalah bulir hujan yang membawa kesuburan. Saat aromamu merasuki pori kering, menjalar ke pembuluh, merangsang akar, membasuh dahaga. Kamu adalah partikel ciptaanNya yang luar biasa... IS..  


Disela-sela rintik neptunus,,,

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Rain Diamond : Saya si keledai

02 Maret 2013

Entah apa yang menggerakkan ku untuk melakukannya  dan tidak memilikirkan perasaannya, membayangkan reaksinya ketika tau apa yang sudah kulakukan.  Aku bodoh seperti keledai, menggali lubang yang sama di area yang berbeda, namun  berdiameter lebih lebar... Andai dia tau ini tidak seperti apa yang ada dibenakknya, aku sangat meyakini hati ini sudah terkunci rapat, tidak akan ada celah bagi debu dan penyamun. Bertubi-tubi ia lantunkan nada-nada yang menyayat hati kecil, melukai pembuluh hingga bergetar. Rasanya engsel terpelanting dan tulang-tulang berserakan di lumpur kelam.  Aku tak bergairah untuk apapun bahkan sekedar duduk di beranda menghirup udara luar. 

Dia benar-benar marah besar, aku kelimpungan entah bagaimana meyakinkannya lagi,,, sampai pada batas persimpangan ego dan dia, tentu aku memilih dia, tapi entah ego itu menyelinap dari sayap kiri. Aku berbelok kemasa silam,,, aku yang egois, mau menang sendiri, keras kepala. Sejak mengenalnya sedikit demi sedikit sudah ku tanggalkan. Bagi ku dia sumber mata air yang datang di musim kemarau, tapi ia juga bisa menjadi matahari yang memanggang ku hingga hangus. Ini memang kelalaian ku, karena aku tidak berpikir panjang, karena aku terlalu mementingkan perasaan orang lain. Seharusnya perasaan dia diatas segalanya.

Entah dengan cara apa dia bisa memaafkan ku dan memberikan lagi benih kepercayaannya. Dalam lipatan putus asa saya memutuskan untuk menyerah, merasa diri tak layak untuknya. Tapi sungguh dalam hati kecil ini saya ingin terus dapat bersamanya, SELAMANYA. Dia mengatakan saya pecundang, saya yang merusak tapi tidak ingin memperbaiki. Itu artinya kita akan berpisah? Atau sudah berpisah?

Tidak lama handphone saya berdering. Suara itu,,, yah suaranya mengalirkan darah ke pembuluh. Memompa jantungku lebih kencang. Kukumpulkan kembali tulang-tulang yang berserakan, ku pasang engsel hingga tulang berfungsi normal. Tapi entah apa yang membuat lidah ini kelu, mengatakan yang tidak seharusnya saya katakan. Saya ingin sekali bertemu, menjelaskan semua, menatap matanya dengan sungguh bahwa saya menyesal dan inginkan dia seperti sedia kala. Saya ingin mendekap punggungnya menenangkan hatinya. Saya teramat menyayanginya. Dan pada akhirnya saya hanya kembali diam disudut pilu. Mengeram bak ayam betina berkantong gundah.

Detak waktu kian mengalir. Keinginan untuk bertemu semakin kuat. Tapi terlambat, karena sudah tidak mungkin untuk keluar.  
Mata seakan enggan mengatup. Hingga kuputuskan menikmati drama korea dan tertawa sesekali menjerit pilu. Diibaratkan dunia ini adalah sebuah teater, kini kami dalam masa-masa kilmaks. Penuh emosi dalam perseteruan dari feromon dua hati. Diibaratkan sebuah bangunan. Kami sudah dirikan pondasi yang kuat, bata yang kokoh. Hingga badai datang mencoba menghantam dari besegala arah.

Saya ingin semua baik-baik saja. Tapi hingga jarum jam beradu diubun-ubun semuanya tak menunjukkan titik terang, semakin rumit dengan luka kian menganga. Kupaksa memejamkan mata mengganti posisi berguling-guling tak karuan. Kantuk tak kunjung jua tiba. Pikiran saya melayang-layang. Hingga teringat akan mimpi. Mimpi menikah denganya. Saya sering menemui mimpi  kebalikan dari kenyataan. Dan saya membantah kali ini. Meyakinkan itu hanya bunga tidur. Itu hanya kamuflase yang sengaja menggoyahkan saya. Teringat masa-masa yang membuat saya jatuh cinta setiap detiknya dengan dia dan dia dan dia lagi. Ingat perkataannya yang membuat saya kehilangan sosoknya hingga perih kian menusuk. Semuanya berbaur. Meracik bumbu mendominasi pedih.   

Akhirnya saya terlelap. Tapi ingatan saya tak lepas darinya hingga merasuk kedalam mimpi. Mimpi  semua berjalan sedia kala. Melihat senyumnya ketika kita bersenda gurau. Akhhh... Saya benci mimpi!!!...
Terbangun dan melihat layar handphone. Ada pesan. Saya bersemangat membuka kotak masuk. Tertera agen neptunus di sana. Siapa lagi kalau bukan dia. Beberapa detik raut berganti muram langit kembali gelap, petir menyambar saya bertubi-tubi. Apalagi ini??? Saya sangat berharap ini mimpi!!!!... Tapi saya melihat semuanya begitu nyata. Dia sedang memaki saya dan menyamai saya seperti perempuan yang saya benci. Menuding saya berselingkuh dan membohonginya. Miris.

Saya berusaha menenangkan hatinya, disisi lain emosi saya mulai terpancing. 
Bisikan devil mendayu-dayu “Mengapa kau terlihat seperti orang bodoh? Mengemis pada orang yang sudah memakimu? Untuk apalagi dipertahankan?”…
Disisi lain suara-suara malaikat menggema “Rin,,, dia seperti itu karena ada penyebabnya. Yang perlu kamu lakukan berusaha untuk tidak mendekati apa-apa yang membuat ia bertindak seperti itu, bukan mencari-cari kesalahan, tidak akan ada habisnya. Dia menyayangimu. Camkan itu!!  .
 Hingga kehabisan kuah aksara. Kering dan kusam.  Ingin rasanya segera meletakkan matahari di ufuk timur, membangunkan ayam jantan agar segera berkokok.  Saya inginkan pagi dan bertemu dengannya....    


Take pic : File lama

"Kepercayaan ibarat sebuah sebuah telur, ketika telur itu pecah maka tidak akan mungkin utuh kembali”.
“Jangan bermain api jika tidak ingin terbakar”
“Lebih baik mencegah dari pada mengobati”

Terimakasih sayang,,, atas pelajaran yang secara cuma-cuma kamu berikan dengan tulus.  Maaf untuk kekecewaan ini. 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Followers